Showing posts with label doktrin. Show all posts
Showing posts with label doktrin. Show all posts

Sunday, April 23, 2017

KONTROL BERLEBIHAN

KONTROL BERLEBIHAN

            Kita sering melihat orangtua ditanam bermain tiba-tiba mengatakan sudah waktunya sudah pulang, kadang –kadang sampai menyambar lengan anaknya. (jika dia berteriak, itui biasanya dianggap karena dia “sudah capek”) kita melihat orangtua tanpa sadar  meniru sersan tentara yang mengintimidasi pasukanya, berhadap-hadapan, mengacungkan jarinya  hanya beberapa inci dari wajah anaknya, menghardik. Dan berapa seringnya kita melihat orang tua rebut dengan anaknya direstoran – mengoreksi sikapnya, mencereca mereka berkenaan dengan sikap badan mereka, berkomentar tentang apa (dan seberapa banyak) mereka makan, dan biasanya membuat makan malam sebagai sesuatu yang sangat ingin dihindari anak-anak. (tidak mengerankan banyak anak-anak tidak merasa lapar selama acara makan malam keluarga, tetapi selera makanya bangkit beberapa saat kemudian).
            Saya adalah seorang yang suka mencerca sebelum saya sendiri memiliki anak. Sampai anda mendorong kereta bayi anda sendiri, anda belum bias benar-benar mengerti  bagaimana orang sekecil itu dapat menekan tombol yang menyerap habis kesabaran anda. (tentu saja, and ajuga belum mampu menghargai saat-saat sangat menyenangkan yang mereka hadirkan). Itulah yang selalu saya ingat ketika saya mengernyit memerhatikan perilaku orangtua lain. Dan saya mengingatkan diri sendiri bahewa saya tidak mengetahui sejarah tiap keluarga yang saya amati selama bebrapa menit- apa yang mungkin telah dialami orangtuanya pagi itu dan apa yang baru saja dilakukan anak itu beberapa saat sebelum saya ada saya ditempat kejadian.
            Akan tetapi, terlepas dari semua toleransi yasng ingin kita berikan, dan semua pengecualian yang mungkin kita berikan ada sebuah kebenaran umum: untuk setiap anak yang diizinkan berlarian kesana kemari di tempat umum,ada ratusan anak yang dibatasi dengan tidak seperlunya, diteriakin, diancam, atau dibohongi oleh orangtuanya. Bahkan, ada anak-anak yang protesnya sering diabaikan dan pertanyaanya didiamka; anak-anak yabng terlalu terbiasa mendengar “tidak” sebagai jawaban otomatis  ats permintaan mereka, dan “karena aku bilang begitu” jika mereka meminta alasanya.
            Namun pertanyaan yang lebih menarik mungkin adalah bagaimana orangtau pertama kali memutuskan apa saja “perilaku yang tak pantas” itu. Sebagian orangtua menerapkan konsep itu pada apa akan anda dan saya anggap sebagai tindakan yang tidak berbahaya- dan kemudioan mengambil tindakan keras pada anak –anak mereka. Ini mungkin contoh dari apa yang dinamakan gaya pengasuhan anak yang “otoriter”. Orangtua yang seperti itu lebihj sering menuntut dari pada menerima dan menyemangati. Mereka jarang memberi  penjelasan atas peraturan yang mereka terapkan. Mereka mengharapkan kepatuhan mutlak, dan menggunakan hukuman sesukanya untu mendapatkan itu. Mereka juga meyakini bahwa lebih penting bagi anak untuk menuruti yang berkuasa dari pada berpikir sendiri atau mengungkapkan pendapat. Mereka bersikeras  bahwa anak perlu diawasi secara cermat, dan apabila melanggar peraturan yang menegaskan prasangka buruk mereka tentang watak anak-anak itu sebenarnya orangtua otoriter crenderung menganggap anak memilih untuk melanggarnya dengan sengaja, terlepas dari usianya, dan sekarang harus  diminta bertanggung jawab.


ANAK YANG MANA YANG MELAKUKAN APA YANG DIPERINTAHKAN

            Marilah kita mengesampingkan untuk sementara tujuan ambisius kita untuk anak-anak dan hanya berfokus pada apa yang menyebabkan mereka menuruti keinginan kita. Jika yang kita inginkan hanyalah membuat mereka melakukan sesuatu, atau berhenti melakukan sesuatu, saat ini juga, sementara kita berdiri mengawasi, maka kita harus mengakui bahwa kadang-kadang penggunaan berhasil memaksa perilaku tersebut-contohnya dengan mengancam, menghukum dan menuntut dengan suara keras. Tapi hanya kadang. Sebaliknya, anak yang melakukan apa yang diperintahkan  biasanya memiliki orangtua yang tidak mengandalkan kekuasaan, tetapi telah membangun hubungan yang hangat dan kuat dengan anak-anak mereka. Mereka memiliki orangtua yang memperlakukan mereka dengan hormat, meminimalkan pengontrolan, dan menganggap perlu memberi alasan dan penjelasan untuk apa yang mereka minta.
            Para peneliti dalam sebuah kajian klasik pertama-tama membedakan antara jenis orangtua yang peka, menerima, dan kooperatif, dan jenis lain yang menganggap “dia berhak penuh untuk memperlakukan  anak sesuai dengan keinginanya, memaksakan kehendak pada anaknya, membentuk anak-anaknya sesuai dengan standarnya dan menyelanya dengan sewenang-wenang tanpa memerhatikan kebutuhan, keinginan atau kegiatan yang sedang dilakukan anaknya. “ternyata anak-anak dari ibu dalam kategori pertamalah  yang tidak terlalu mengontrol  yang cenderung melakukan apa yang diperintahkan.
            Dalam penelitian yang kedua, anak-anak berusia 2 tahun yang cenderung menuruti permintan yang spesifik ternyata adalah anak-anak yang orangtuanya “sangat jelas tentang apa yabng mereka inginkan, tetapi disamping mendengarkan keberatan anak, mereka juga memenuhi pemintaan anak-anak dengan cara yang menghormati  kemandirian dan kepribadian mereka”.
            Penelitian ketiga sedikit menaikkan taruhanya dengan berfokus pada anak-anak prasekolah yang diketahui sangat tidak patuh. Sebagian dari ibu mereka diminta bermain dengan mereka seperti yang biasa mereka lakukan, sementara yang lain dilatih untuk “terlibat dalam kegiatan yang mungkin dipilih  anak dan memperbolehkan anak untuk mengontrol keadaan dan peraturan intreaksi tersebut”. Para ibu itu diminta menahan diri untuk memerintah, mengkritik atau memuji.
Anak-anak yang menurut adalah yang ibunya biasanya bersikap mendukung dan hangat, dan yang cenderung menghindari pengontrolan dengan paksa.   

EKSTRIM YANG BERLAWANAN

            Ada sebuah paradoks dalam fakta bahwa orangtua yang paling ingin mengontrol anak-anak apda akhirnya justru memiliki control yang paling sedikit atas mereka. Tetapi, bukan Cuma itu saja yang jauh lebih penting adalah kenyataan bahwa pendekatan berdasarkan kekuasaan ini bukan hanya tidak hanya efektif melainkan juga sangat merusak, meskipun kelihatanya berhasil. Seperti yang pernah dikatakan kepada saya oleh mendiang Thomas Gordon, pencipta parent effectiveness, “lingkungan dengan kekuasaan runggal membuat orang menjadi sakit.”
            Apabila kita membuat anak-anak merasa tak berdaya, memaksa merekauntuk menuruti keinginan, maka hal ini sering kali menghasilkan kemarahan yang hebat, dan hanya karena kemarahan itu tidak dapat diungkapkan saat itu, tidak berarti kemarahan itu lenyap. Apa yang terjadi bergantung pada kepribadian anak dan kondisi khasnya. Kadang-kadang hasilnya berupa lebih banyak perselisihan dengan orangtua. Seperti komentar penulis nancy samalin, “meskipun kita ‘menang’, kita sebenarnya kalah. Ketika kita  membuat anak–anak patuh denga cara memaksa, mengancam atau menghukum, kita membuat mereka merasa tak berdaya. Mereka tidak tahan  merasa tak berdaya, sehingga mereka memancing  pertentangan lain untuk membuktikan bahwa mereka masih memiliki suatu kakuatan.” Dan darimana mereka belajar menggunakan kekuatan itu? Dari kita.  Pengasuhan otoriter tidak hanya membuat mereka marah tapi juga menganjarkan kepada mereka bagaimana mengarahkan kemarahan itu kepada orang lain.
            Anak-anak seperti itu mungkin tumbuh dengan kebutuhan yang terus menerus  untuk mengejek figure otoriter. Kadang-kadang mereka membawa semua kebencian itu disekolah atau taman bermain. (penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang mengontrol, nahkan anak-anak yang berusia 3 tahun, sangat cenderung  mengganggu dan agresif tyerhadap teman-temanya, hasilnya adalah teman-temanya  tidak mau berhubungan dengan mereka. Jelasnya pengasingan paksa tidak menjadi pertanda bagus bagi perkembangan mereka).


MAKAN BERLEBIHAN, KURANG GEMBIRA DAN AKIBAT LAIN
DARI PENGONTROLAN

Menanamkan dorongan untuk “menjadi baik”, atau bekerja atau melakukan apapun yang perlu untuk menyenangkan ibu atau ayah bukanlah berita bagus jika hasilnya tidak terasa seperti keputusan yang sesungguhnya. Dan, menurut penelitian itu memang tidak seperti keputusan yang sesungguhnya. Para mahasiswa yang berpikir bahwa orangtua mereka mencinta mereka secara bersyarat lebih cenderung dibandingkan dengan teman sebayanya untuk mengatakan bahwa cara mereka bertindak sering kali dikarenakan “tekanan kuat dari dalam” dari pada “pilihan sendiri”. Mereka juga mengindikasikan bahwa kebahagiaan mereka setelah berhasil melakukan sesuatu biasanya hany asebentar, pendapat mereka atas diri mereka sendiri sangat bergejolak, dan mereka sering kali, dan mereka sering kali merasa bersalah  atau malu.
            Deci dan Ryan percaya bahwa anak-anak dilahirkan tidak hanya denga kebutuhan dasar tertentu, diantaranya kebutuhan untuk berpendapat atas kehidupan mereka sendiri, tapi juga dengan kemampuan untuk membuat keputusan dengan cara yang memenuhi kebutuhan mereka. Mereka dilengkapi dengan “giroskop alami  untuk mengatur diri sendiri”. Apabila kita mengontrol anak-anak secara berlebihan. Misalnya dengan member mereka penghargaan dan pujian karena melakukan apa yang kita inginkan. Mereka jadi bergantung pada sumber control dari luar. Giroskopnya mulai bergoyang dan mereka kehilangan kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri.


makanan
konsumsi makanan memberi contoh harfiah atas hal ini. Benar sekali bahwa anak-anak tidak selalu memilih makanan yang paling sehat untuk dimakan. (itulah sebabnya kita perlu mengajari merka apa yang baik dan tidak baik pada tubuh mereka dan menyediakan pilihan  yang terbatas bagi mereka sehingga pilihan apapun dapat diterima).

Moral
Penemuan tentang makanan ini saja sudah menarik, bahkan megejutkan, tetapi ini hanya satu gambaran atas bahaya yang lebih luas. Pengaturan dari luar dapat memengaruhi perkembangan pengaturan dari dalam tidak hanya yang berkaitan dengan makan, tapi juga dengan etika. Gaya pengasuhan yang keras tidak mendorong dan sebenarnya mungkin  merongrong, perkembangan moral anak-anak. Mereka yang ditekan untuk melakukan sesuai dengan yang diminta kemungkinan tidak  memikirkan baik dilemma etika bagi mereka sendiri.

minat
akibat lain dari pengontrolan yang berlebihan: apabila anak-anak merasa terpaksa melakukan sesuatu atau terlalu diatur dalam menemukan cara melakukan sesuatu mereka cenderung menjadi kurang tertarik dengan apa yang mereka lakukan dan kurang berminat dengan sesuatu yang menantang.

keterampilan
penelitian pertama yang mengkaji penurunan minat anak-anak ini dilakukan pada pertengahan 1980-an oleh Wendy Grolnick, mantan siswa deci dan ryan dan rekan-rekan mereka. Penelitian kedua antara lain dilakukan oleh deci sendiri. Hamper dua dekade kemudian, golnick menemukan bahwa orangtua yang mengontrol bukan hanya membuat anak-anak kurang beminat dengan apa yang mereka lakukan: mereka juga menyebabkan anak-anak menjadi kurang cakap dalam apa yang mereka kerjakan.

            

DITEKAN UNTUK BERHASIL

DITEKAN UNTUK BERHASIL



            Meskipun tidak banyak diketahui, kata tekanan (stres), apabila digunakan untuk menggambarkan keadaan mental seseorang, sebenarnya adalah sebuah kiasan. Aslinya istilah tersebut terbatas hanya penelitian ilmiah tentang logam dan bahan lainnya. Kata tersebut juga mengacu pada “ketegangan atau perubahan bentuk” (saya mengutip kamus) yang dihasilkan oleh gaya yang berlebihan. Sebuah balok besi mampu menahan tekanan besar hanya  sampai tingkat tertentu sebelum patah.
            Jadi, dalam arti kiasan, apa yang menciptakan tekan yang sama pada anak-anak? Dan apa yang terjadi pada mereka ketika mereka “patah” begitu umur seorang anak tercatat dalam dua angka. Taruhanya dalam permainan disiplin dinaikkan. Para remaja mungkin terlibat lebih banyak masalah, dan apabila mereka (dapat dimaklumi) membangkang ats pengontrolan, orangtua seringkali tergoda untuk menggunakan  peraturan yang lebih ketat  dan bentuk hukuman yang lebih kejam. Namun, anak-anak yang lebih besar  mungkin mengalami tekanan karena alasan lain juga. Mereka semakin mendapatkan kesan bahwa mereka diharapkan tidak hanya menurut,. Tetapi juga berhasil. Tidak hanya menjadi bisa tetapi juga terampil.
Dan seperti yang pernah disesali seorang psikoanalis erich fromm, “sedikit orangtua yang mempunyai keberanian dan kemandirian dan kemadirian untuk lebih peduli terhadap kebahagiaan anak-anak mereka daripada keberhasilan mereka.
            Tekanan untuk berprestasi seperti itu ditemukan pada banyak keluarga  yang anak-anaknya berperilaku sempurna dan tidak pernah memberi masalah  pada orangtua atau guru mereka, khususbya orang tua yang benar-benar suskses (maksud saya orang tua yang sukses  secara finansial, tapi bukan sukses sebagai orang tua), mungkin menerapkan permintaan yang sangat besar dan sering kali tidak masuk akal pada anak-anak merek. Penyelidikan tentang anak-anak usia sebelas dan dua belas tahun terbit dengan judul provokatif “istimewa tetapi tertekan?
            Pada n1980-an dua psikolog meneliti lebih dari delapan ratus siswa sekolah yang kompetitif  “menjadi unik karena ketergantungan mereka yang lebih besar  pada pengukuran nilai pribadi berdasarkan evakuasi dan kinerja. :artinya:cara mereka memandang diri mereka sendiri  berdasarkan pada seberapa baikmerka melakukan tugas-tugas tertentu dan pada apa yang dipikirkan oran glain tentang diri mereka. Peraingan membuat harga diri goyah  dan bersyarat  dan pengaruhnya sama pada pemenang pemenang maupun pecundang. Lebih jauh lagi, pengaruhnya tidak terbatas pada persaingan yang “berlebihan”. Tetapi, sepertinya setiap kali anak-anak saling dipersaingkan sehingga seorang dapat berhasil hanya jika bisa menggagalkan yang lain, ada harga psikologis yang harus dibayar.


DISEKOLAH

            Penelitian menunjukkan bahwa jika anak-anak didorong untuk berfokus mendapatkan nilai yang bagus disekolah, maka tiga hal akan cenderung terjadi: mereka kehilangan minat  pad apembelajaran itu sendiri, mereka mencoba untuk menghindari  kegiatan yang menantang, dan mereka kurang suka berpikir lebih dalam dan kritis. Mari kita telusuri tiap hal tersebut:
1.    Seperti halnya anak-anak yang diberi penghargaan ats kedermawanan mereka sendiri  berakhir dengan menjadi kurang dermawan, begitu juga dengan siswa  yang mendapat nilai A-cenderung menjadi kurang berminat pada apa yang mereka pelajari.
2.    Penilaian membuat anak-anak memilih tugas yang paling mudah apabila mereka diberi pilihan. Berikan kesan pada mereka bahwa apa yang mereka lakukan “diperhitungkan” terhadap nilai dan mereka cenderung akan menghindari resiko yang tidak perlu.tak perlu waktu lama untuk membuat anak-anak untuk menyadari bahwa melakukan tugas yang paling mudah adalah ruteyang paling pasti untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Semakin anak berpikir tentang penilaian, sifat ingin tahunya yang alami cenderung akan semakin menguap. 
3.    Pencarian nilai yang bagus sering kali membuat para siswa berpikir dengan cara yang lebih dangkal  dan superfisial. Mereka mungkin akan membaca buku-buku secara selintas hanya untuk mendapatkan hal-hal yang “perlu diketahui”. Melakukanya hanya apa yang diminta dan tidak lebih. Mereka mungkin membuat trik untuk mendapatkan nilai yang bagus dalam ujian. Bahkan, mereka mungkin menyontek. Kontrol yang berlebihan secara umum terbukti jelas  menimbulkan dampak negatif. tidak hanya pada kesehatan  mental anak-anak, tapi juga pada keberhasilan mereka disekolah.

DALAM BERMAIN

            Pada beberapa keluarga, keberhasilan lebih terletak dibidang atletik  daripada akademik. Namun, tekanan untuk mencapai keberhasilan bersama dengan kerugianya tidak berbeda. Wendy grolnick yang penelitanya tentang pengontrolan orangtua telah saya jelaskan, terkejut idak hanya oleh hasil penelitian ilmiahnya tetapi juga apa yang  dilihtanya diseputar kota.
MESIN KECIL YANG SERBAHARUS


            Kerja sama lebih masuk akal dari pada persaingan  jika kita lebih peduli pada hasil akhir, demikian juga kita peduli bagaiman persaan orang-orang tentang diri mereka sendiri  dan orang-orang disekelilingnya. Saya mengatakan hal inisekarang karena jenis perimbangan  yang sama kadang-kadang dipercaya  ada berkenaan dengan  pengasuhan tak bersyarat. Argumennya seperti ini. Apabila kita mengetahui bahwa  kita mendapatkan persetujuan hanya jika kita bekerja keras atau  menghasilkan sesuatu, maka kita akan cenderung hanya melakukan hal tersebut. Sebaliknya, seperti yang ditanyakan oleh sekelompok psikolog secara rerotik, “jika orang-orang dicintai secara bersyarat dalam seluruh aspek  kehidupan, apakah mereka tetap mendorong  untuk sukses?”
            Ini pertanyaan penting, dan saya ingin menaggapinya dengan 4 cara:
Pertama meskipun alur pemikiran inu  masuk akal, mungkin itu hanya dapat diterapkan pada orang dewasa. Anak-anak perlu dicintai dengan tak bersyarat. Sekali lagi dengan berasumsi bahwa adalah bagus bagi siapa pun untuk merasa diterima hanya jika dia berhasil, tampaknya penting untuk memulai hidup dengan fondasi yang aman yang berasal dari penerimaan tanpa syarat.
Kedua patut dipertanyakan apa, tepatnya, yang sehaharusnya menjadi dasar  keputusan bagi nilai seseorang atau tidak. “bekerjakeras” dan “membuahkan hasil” adalah dua hal yang sangat berbeda.
Ketiga meskipun persetujuan bersyarat benar-benar membuahkan hasil, sekali lagi kjita harus mempertimbangkan semua kerugian yang tersembunyi  -yaitu pengaruh yang lebih luas, lebih dalam dan lebih lama dari sebuah strategi yang pada pandangan pertama sepertinya berhasil.
keempat sepanjang menyangkut persaingan, ternyata sebenarnya tidak ada perimbangan apapun karena penerimaan bersyarat biasanya tidak berhasil, bahkan untuk mencapai sasaran peningkatan prestasi. Paling-paling, efektivitasnya  hanya pada beberapa orang, pada beberapa pekerjaan, pada beberapa kesempatan.

Ini adalah kebenaran yang sangat sederhana dan sangat jelas kalau anda memikirkanya: takut gagal sama sekali  tidak sama dengan merangkul keberhasilan. Sebenarnya, yang pertama menghalangi yang berikutnya.      

KERUGIAN HUKUMAN PADA ANAK-ANAK

KERUGIAN HUKUMAN PADA ANAK-ANAK




Hukuman…. Control….pengasuhan otoriter ….. penarikan cinta….kasih sayang bersyarat – semua konsep ini saling tumpang tindih. Tetapi yang pertama adalah yang sangat akrab dengan kita dan paling mudah dimengerti. Menghukum anak, secara sederhana, adalah membuat sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi  padanya atau mencegah mereka mengalami sesuatu yang menyenangkan biasanya dengan tujuan  mengubah perilaku mereka pada masa datang. Penghukum membuat mereka menderita, dengan kata lain memberi mereka sebuah pelajaran.   
Hukuman terbukti kontraproduksi terlepas dari apakah orangtua menggunakannya untuk menghentikan sikap agresi, ketergantungan yang berlebihan, mengompol atau hal lainnya. Para peneliti terus menerus menemukan bahwa hukuman “dalam jangka panjang tidak efesien sebagai sebuah teknik  untuk menghapus perilaku yang menjadi sasaran hukuman itu”. Penelitian yang lebih baru dan dirancang dengan lebih baik hanya berfungsi untuk menguatkan kesimpulan ini, misalnya menunjukkan bahwa orangtua yang “menghukum karena melanggar aturan perilaku dirumah sereing kali memiliki anak-anak yang menunjukkan pelanggaran peraturan tingkat yang lebih tinggi apabila mereka jauh dari rumah”.  Saat ini terdapat sejumlah besar koleksi penelitian yang menunjukkan akibat merusak dari hukuman fisik secara khusus berupa pemukulan pantat, tamparan, atau dengan cara lainnya yang menimbulkan penderitaan fisik sebagai sebuah bentuk pendisplinan. Data tersebut menunjukkan dengan luar biasa bahwa hukuman fisik membuat anak-anak lebih agresif dan menyebabkan berbagai macam konsekuensi merusak lainya. (bahkan tidak jelas apakah hukuman fisik berhasil mendapatkan ketaatan sementara). Memukul anak jelas “memberi merekasebuah pelajaran” dan pelajaranya adalah bahwa anda bisa mendapatkan apa yang anda inginkan dari orang-orang yang lebih lemah dari pada anda dengan cara menyakiti mereka.
Ketika anda hanya berdiri dan membiarkan hal yang buruk terjadi dan membiarkan hal yang buruk terjadi, anak anda mengalami kekecewaan ganda  bahwa sesuatu yang tidak beres telah terjadi dan anda tampaknya  tidak cukup peduli dengannya karena tidak sedikit pun berusaha membantunya  mencegah kemalangan  itu. Pendekatan “konsekuensi alami” sebenarnya adalah sebuah bentuk hukuman.      

MENGAPA HUKUMAN GAGAL


Berdasarkan bukti-bukti yang ada sangatlah sulit untuk menolak bahwa menghukum anak-anak tidak akan membuahkan hasil. Terlalu sulit untuk mengatakan dengan pasti mengapa demikian. Akan tetapi klita dapat memberikan beberapa dugaan:
ü Hukuman membuat orang marah. Seperti bentuk pengontrolan lainya, penggunaan konsekuensi hukuman sering membuat marah siapa pun yang menjadi penerima hal tidak menyenangkan itu, dan pengalaman tersebut dua kali lebih menyakitkan karena dia tidak berdaya melakukan sesuatu mengenainya.
ü  Hukuman memberi contoh penggunaan kekuasaan.contoh yang diperlihatkan oleh hukuman fisik terhadap anak-anak adalah kekejaman yaitu penggunaan untuk menyelesaikan masalah.
ü Hukuman pada akhirnya tidak efektif. Seiring bertambahnya usia anak, akan semakin sulit untuk menemukan bentuk hukuman apa untuk ditimpakan kepada mereka yang akan cukup tidak menyenangkan.
Seperi yang ditunjukkan thomas gordon, “akibat yang tak dapat dihindari dari penggunaan kekuasaan yang terus menerus untuk mengontrol anak-anak (anda) ketika mereka masih kecil  adalah bahwa (anda) tidak pernah belajar bagaimana cara memengaruhi.” Semakin anda bergantung pada hukuman, maka “semakin sedikit pengaruh nyata yang akan anda miliki dalam kehidupan mereka”.
ü Hukuman mengikis hubungan kita dengan anak-anak kita. Ketika kita menghukum, kita membuat anak-anak kesulitan untuk menganggap kita sebagai kawan yang penuh perhatian, yang sangat penting bagi perkembangan yang sehat.
ü Hukuman mengalibkan perhatian anak-anak dari persolan yang sebenarnya. Misalkan seorang anak diberitahu bahwa, karena dia baru saja memukul adiknya, maka dia harus dikurung didalam kamrnya dan tidak boleh menonton acara tv kesukanya.
ü Hukuan membuat anak-anak menjadi lebih egois. Kata konsekuensi terlalu sering digunakan, tidak hanya sebagai pelembut bagi istilah hukuman, tetapi juga sebagai pembenaran, seperti dalam “anak-anak perlu belajar bahwa ada konsekuensi dari tindakan –tindakan mereka”.

Ciri yang palimg menonjol dari hukuman yang membuatnya tidak mungkin diabaikan sebenarnya sekaligus menjamin bahwa tidak ada kebaikan yang muncukl dari hukuman itu. Yang membangkitkan perhatian anak-anak disini adalah penderitaan, disertai kenyataan bahwa seseorang yang menjadi tempat mereka  bergantunglah yang menyebabkan penderitaan itu.   

KONTROL BERLEBIHAN PADA ANAK-ANAK

KONTROL BERLEBIHAN PADA ANAK-ANAK




            Kita sering melihat orangtua ditanam bermain tiba-tiba mengatakan sudah waktunya sudah pulang, kadang –kadang sampai menyambar lengan anaknya. (jika dia berteriak, itui biasanya dianggap karena dia “sudah capek”) kita melihat orangtua tanpa sadar  meniru sersan tentara yang mengintimidasi pasukanya, berhadap-hadapan, mengacungkan jarinya  hanya beberapa inci dari wajah anaknya, menghardik. Dan berapa seringnya kita melihat orang tua rebut dengan anaknya direstoran – mengoreksi sikapnya, mencereca mereka berkenaan dengan sikap badan mereka, berkomentar tentang apa (dan seberapa banyak) mereka makan, dan biasanya membuat makan malam sebagai sesuatu yang sangat ingin dihindari anak-anak. (tidak mengerankan banyak anak-anak tidak merasa lapar selama acara makan malam keluarga, tetapi selera makanya bangkit beberapa saat kemudian).
            Saya adalah seorang yang suka mencerca sebelum saya sendiri memiliki anak. Sampai anda mendorong kereta bayi anda sendiri, anda belum bias benar-benar mengerti  bagaimana orang sekecil itu dapat menekan tombol yang menyerap habis kesabaran anda. (tentu saja, and ajuga belum mampu menghargai saat-saat sangat menyenangkan yang mereka hadirkan). Itulah yang selalu saya ingat ketika saya mengernyit memerhatikan perilaku orangtua lain. Dan saya mengingatkan diri sendiri bahewa saya tidak mengetahui sejarah tiap keluarga yang saya amati selama bebrapa menit- apa yang mungkin telah dialami orangtuanya pagi itu dan apa yang baru saja dilakukan anak itu beberapa saat sebelum saya ada saya ditempat kejadian.
            Akan tetapi, terlepas dari semua toleransi yasng ingin kita berikan, dan semua pengecualian yang mungkin kita berikan ada sebuah kebenaran umum: untuk setiap anak yang diizinkan berlarian kesana kemari di tempat umum,ada ratusan anak yang dibatasi dengan tidak seperlunya, diteriakin, diancam, atau dibohongi oleh orangtuanya. Bahkan, ada anak-anak yang protesnya sering diabaikan dan pertanyaanya didiamka; anak-anak yabng terlalu terbiasa mendengar “tidak” sebagai jawaban otomatis  ats permintaan mereka, dan “karena aku bilang begitu” jika mereka meminta alasanya.
            Namun pertanyaan yang lebih menarik mungkin adalah bagaimana orangtau pertama kali memutuskan apa saja “perilaku yang tak pantas” itu. Sebagian orangtua menerapkan konsep itu pada apa akan anda dan saya anggap sebagai tindakan yang tidak berbahaya- dan kemudioan mengambil tindakan keras pada anak –anak mereka. Ini mungkin contoh dari apa yang dinamakan gaya pengasuhan anak yang “otoriter”. Orangtua yang seperti itu lebihj sering menuntut dari pada menerima dan menyemangati. Mereka jarang memberi  penjelasan atas peraturan yang mereka terapkan. Mereka mengharapkan kepatuhan mutlak, dan menggunakan hukuman sesukanya untu mendapatkan itu. Mereka juga meyakini bahwa lebih penting bagi anak untuk menuruti yang berkuasa dari pada berpikir sendiri atau mengungkapkan pendapat. Mereka bersikeras  bahwa anak perlu diawasi secara cermat, dan apabila melanggar peraturan yang menegaskan prasangka buruk mereka tentang watak anak-anak itu sebenarnya orangtua otoriter crenderung menganggap anak memilih untuk melanggarnya dengan sengaja, terlepas dari usianya, dan sekarang harus  diminta bertanggung jawab.






ANAK YANG MANA YANG MELAKUKAN APA YANG DIPERINTAHKAN

            Marilah kita mengesampingkan untuk sementara tujuan ambisius kita untuk anak-anak dan hanya berfokus pada apa yang menyebabkan mereka menuruti keinginan kita. Jika yang kita inginkan hanyalah membuat mereka melakukan sesuatu, atau berhenti melakukan sesuatu, saat ini juga, sementara kita berdiri mengawasi, maka kita harus mengakui bahwa kadang-kadang penggunaan berhasil memaksa perilaku tersebut-contohnya dengan mengancam, menghukum dan menuntut dengan suara keras. Tapi hanya kadang. Sebaliknya, anak yang melakukan apa yang diperintahkan  biasanya memiliki orangtua yang tidak mengandalkan kekuasaan, tetapi telah membangun hubungan yang hangat dan kuat dengan anak-anak mereka. Mereka memiliki orangtua yang memperlakukan mereka dengan hormat, meminimalkan pengontrolan, dan menganggap perlu memberi alasan dan penjelasan untuk apa yang mereka minta.
            Para peneliti dalam sebuah kajian klasik pertama-tama membedakan antara jenis orangtua yang peka, menerima, dan kooperatif, dan jenis lain yang menganggap “dia berhak penuh untuk memperlakukan  anak sesuai dengan keinginanya, memaksakan kehendak pada anaknya, membentuk anak-anaknya sesuai dengan standarnya dan menyelanya dengan sewenang-wenang tanpa memerhatikan kebutuhan, keinginan atau kegiatan yang sedang dilakukan anaknya. “ternyata anak-anak dari ibu dalam kategori pertamalah  yang tidak terlalu mengontrol  yang cenderung melakukan apa yang diperintahkan.
            Dalam penelitian yang kedua, anak-anak berusia 2 tahun yang cenderung menuruti permintan yang spesifik ternyata adalah anak-anak yang orangtuanya “sangat jelas tentang apa yabng mereka inginkan, tetapi disamping mendengarkan keberatan anak, mereka juga memenuhi pemintaan anak-anak dengan cara yang menghormati  kemandirian dan kepribadian mereka”.
            Penelitian ketiga sedikit menaikkan taruhanya dengan berfokus pada anak-anak prasekolah yang diketahui sangat tidak patuh. Sebagian dari ibu mereka diminta bermain dengan mereka seperti yang biasa mereka lakukan, sementara yang lain dilatih untuk “terlibat dalam kegiatan yang mungkin dipilih  anak dan memperbolehkan anak untuk mengontrol keadaan dan peraturan intreaksi tersebut”. Para ibu itu diminta menahan diri untuk memerintah, mengkritik atau memuji.
Anak-anak yang menurut adalah yang ibunya biasanya bersikap mendukung dan hangat, dan yang cenderung menghindari pengontrolan dengan paksa.   

EKSTRIM YANG BERLAWANAN

            Ada sebuah paradoks dalam fakta bahwa orangtua yang paling ingin mengontrol anak-anak apda akhirnya justru memiliki control yang paling sedikit atas mereka. Tetapi, bukan Cuma itu saja yang jauh lebih penting adalah kenyataan bahwa pendekatan berdasarkan kekuasaan ini bukan hanya tidak hanya efektif melainkan juga sangat merusak, meskipun kelihatanya berhasil. Seperti yang pernah dikatakan kepada saya oleh mendiang Thomas Gordon, pencipta parent effectiveness, “lingkungan dengan kekuasaan runggal membuat orang menjadi sakit.”
            Apabila kita membuat anak-anak merasa tak berdaya, memaksa merekauntuk menuruti keinginan, maka hal ini sering kali menghasilkan kemarahan yang hebat, dan hanya karena kemarahan itu tidak dapat diungkapkan saat itu, tidak berarti kemarahan itu lenyap. Apa yang terjadi bergantung pada kepribadian anak dan kondisi khasnya. Kadang-kadang hasilnya berupa lebih banyak perselisihan dengan orangtua. Seperti komentar penulis nancy samalin, “meskipun kita ‘menang’, kita sebenarnya kalah. Ketika kita  membuat anak–anak patuh denga cara memaksa, mengancam atau menghukum, kita membuat mereka merasa tak berdaya. Mereka tidak tahan  merasa tak berdaya, sehingga mereka memancing  pertentangan lain untuk membuktikan bahwa mereka masih memiliki suatu kakuatan.” Dan darimana mereka belajar menggunakan kekuatan itu? Dari kita.  Pengasuhan otoriter tidak hanya membuat mereka marah tapi juga menganjarkan kepada mereka bagaimana mengarahkan kemarahan itu kepada orang lain.
            Anak-anak seperti itu mungkin tumbuh dengan kebutuhan yang terus menerus  untuk mengejek figure otoriter. Kadang-kadang mereka membawa semua kebencian itu disekolah atau taman bermain. (penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang mengontrol, nahkan anak-anak yang berusia 3 tahun, sangat cenderung  mengganggu dan agresif tyerhadap teman-temanya, hasilnya adalah teman-temanya  tidak mau berhubungan dengan mereka. Jelasnya pengasingan paksa tidak menjadi pertanda bagus bagi perkembangan mereka).


MAKAN BERLEBIHAN, KURANG GEMBIRA DAN AKIBAT LAIN
DARI PENGONTROLAN

Menanamkan dorongan untuk “menjadi baik”, atau bekerja atau melakukan apapun yang perlu untuk menyenangkan ibu atau ayah bukanlah berita bagus jika hasilnya tidak terasa seperti keputusan yang sesungguhnya. Dan, menurut penelitian itu memang tidak seperti keputusan yang sesungguhnya. Para mahasiswa yang berpikir bahwa orangtua mereka mencinta mereka secara bersyarat lebih cenderung dibandingkan dengan teman sebayanya untuk mengatakan bahwa cara mereka bertindak sering kali dikarenakan “tekanan kuat dari dalam” dari pada “pilihan sendiri”. Mereka juga mengindikasikan bahwa kebahagiaan mereka setelah berhasil melakukan sesuatu biasanya hany asebentar, pendapat mereka atas diri mereka sendiri sangat bergejolak, dan mereka sering kali, dan mereka sering kali merasa bersalah  atau malu.
            Deci dan Ryan percaya bahwa anak-anak dilahirkan tidak hanya denga kebutuhan dasar tertentu, diantaranya kebutuhan untuk berpendapat atas kehidupan mereka sendiri, tapi juga dengan kemampuan untuk membuat keputusan dengan cara yang memenuhi kebutuhan mereka. Mereka dilengkapi dengan “giroskop alami  untuk mengatur diri sendiri”. Apabila kita mengontrol anak-anak secara berlebihan. Misalnya dengan member mereka penghargaan dan pujian karena melakukan apa yang kita inginkan. Mereka jadi bergantung pada sumber control dari luar. Giroskopnya mulai bergoyang dan mereka kehilangan kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri.





makanan
konsumsi makanan memberi contoh harfiah atas hal ini. Benar sekali bahwa anak-anak tidak selalu memilih makanan yang paling sehat untuk dimakan. (itulah sebabnya kita perlu mengajari merka apa yang baik dan tidak baik pada tubuh mereka dan menyediakan pilihan  yang terbatas bagi mereka sehingga pilihan apapun dapat diterima).

Moral
Penemuan tentang makanan ini saja sudah menarik, bahkan megejutkan, tetapi ini hanya satu gambaran atas bahaya yang lebih luas. Pengaturan dari luar dapat memengaruhi perkembangan pengaturan dari dalam tidak hanya yang berkaitan dengan makan, tapi juga dengan etika. Gaya pengasuhan yang keras tidak mendorong dan sebenarnya mungkin  merongrong, perkembangan moral anak-anak. Mereka yang ditekan untuk melakukan sesuai dengan yang diminta kemungkinan tidak  memikirkan baik dilemma etika bagi mereka sendiri.

minat
akibat lain dari pengontrolan yang berlebihan: apabila anak-anak merasa terpaksa melakukan sesuatu atau terlalu diatur dalam menemukan cara melakukan sesuatu mereka cenderung menjadi kurang tertarik dengan apa yang mereka lakukan dan kurang berminat dengan sesuatu yang menantang.

keterampilan
penelitian pertama yang mengkaji penurunan minat anak-anak ini dilakukan pada pertengahan 1980-an oleh Wendy Grolnick, mantan siswa deci dan ryan dan rekan-rekan mereka. Penelitian kedua antara lain dilakukan oleh deci sendiri. Hamper dua dekade kemudian, golnick menemukan bahwa orangtua yang mengontrol bukan hanya membuat anak-anak kurang beminat dengan apa yang mereka lakukan: mereka juga menyebabkan anak-anak menjadi kurang cakap dalam apa yang mereka kerjakan.







            

MEMBERI DAN MENAHAN CINTA

MEMBERI DAN MENAHAN CINTA



Ketika para ilmuwan mulai meneliti kedisplinan pada 1950 dan 1960-an mereka cenderung mengklasifikasikan apa yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya hanya berdasarkan kekuasaan atau cinta. Disiplin berdasarkan kekuasaan termasuk memukul, bertreiak dan mengancam. Disiplin berdasarkan cinta  termasuk hampir segala hal lainya. Ketika hasilnya didapat jelaslah bahwa kekuasaan menimbulkan akibat yang lebih buruk daripada cinta.


JEDA DARI CINTA

Sebagian orangtua menarik cinta mereka hanya dengan menolak memberi respons kepada anak artinya dengan tidak mengindahkanya. Mereka mungkin tidak mengatakanya dengan jelas, tetapi pesan yang mereka kirimkan cukup jelas. “jika kamu melakukan hal yang tidak aku sukai, aku tidak akan memerhatikanmu. Aku bahkan berpura-pura kamu tidak ada disini, jika kamu ingin aku mengakuimu lagi, lebih baik kamu menuruti aku.”
            Tetapi sebagian orangtua lain memisahkan diri mereka  secara fisik dari anak-anak mereka. Ada dua cara untuk melakukan hal ini. Orangtua itu mungkin menjauh (yang mungkin dengan meninggalkan anak-anak yabng tersedu, menangis keras dalam kepanikan, “ibu, kembali! Kembali!”) atau mengasingkan anaknya ke dalam kamarnya atau ke ruang lainnya tanpa ditemani orang tua. Taktik seperti ini dapat disebut pengasingan paksa. Tetapi, istilah seperti itu akan membuat banyak orangtua merasa tidak nyaman, sehingga istilah yang lebih tidak merugikan cenderung dipakai, istilah yang membuat kita menghindari menghadapi apa yang sedang terjadi. Eufimisme yang lebih disukai, seperti yang telah anda duga, adalah waktu jeda(time-out).
Salah satu petunjuk tentang ciri teknik ini diberikan oleh asal-usul istilah itu sendiri. Waktu jeda sebenarnya adalah singkat dari waktu jeda dari penguatan positif. Praktik ini dikembangkan hampir setengah abad yang lalu sebagai cara untuk melatih hewan laboratorium. Pada saat B.F. skinner dan para pengikutnya bekerja, sebagai contoh, untuk mrngajari burung merpati  mematukkunci-kunci tertentu dalam merespon kilatan cahaya. Mereka mengubah-ubah jadwal pemberian makanan sebagai penghargaan karena melakukan apa yang diinginkan oleh para peneliti. Kadang – kadang mereka juga mencoba menghukum burung –burung tersebut dengan menahan makanan mereka, atau bahkan dengan mematikan semua lampu, untuk melihat bagaimana hal itu dapt “mematikan” perlaku mematuk kunci.
            Dalam beberapa tahun, beberapa artikikel mulai terbit dalam jurnal psikologi eksperimental yang sama dengan judul seperti “timeout Duratian and the suppression of Deviant Behavior in Children”. Dalam penelitian yang satu ini anak-anak diberi waktu jeda digambarkan sebagai “sosok yang terbelakang dan kehilangan kemampuan untuk hidup secara mandiri”. Namun tak lama kemudian penghukuman semacam ini dianjurkan tanpa membeda-bedakan, bahkan para spesialis disiplin yang mungkin tercengang dengan ide memperlakukan anak-anak seperti hewan laboratorium menjadi antusias dalam menasehati orang tua untuk memberikan waktu jeda kepada anak jika berbuat salah.
            Jadi, kita sedang membicarakan tentang teknik yang pada awalnya merupakan cara mengontrol perilaku hewan. Ketiga kata tersebut mungkin memunculkan pertanyaan yang mencemaskan pada kita. Kata yang ditengah, tentu saja kita sudah mengenalnya: haruskah fokus kita dibatasi pada perilaku? Waktu jeda seperti juga hukuman dan ganjaran hanya ada dipermukaan itu dimaksudkan benar-benar hanya untuk membuat suatu organisme berbuat (atau berhenti berbuat) denga cara tertentu.
            Kata yang terakhir, hewan, mengingatkan kita bahwa para penganuit behaviorisme yang menciptakan waktu- jeda meyakini bahwa manusai tidaklah berbeda dengan spesies lainnya. Kita “memancarkan”  perilaku yang lebih rumit, di antaranya kemampuan bercakap-cakap. Sebagian dari kita yang tidak menyetujui keyakinan itu  mungkin kebenaran menundukkan anak pada sesuatu yang dikembangkan untuk digunakan oleh burung dan hewan pengerat.
            Kalau pun sejarah dan dasar teorinya tidak mencemaskan anda, tinjau kembali istlah aslinya :waktu-jeda dari penguatan positif.  Orang tua biasanya tidak tiba-tiba memutuskan untuk berhenti ketika sedang memberikan stiker atu permen, jadi, sebenarnya penguatan positif  pa yang ditangguhkan ketika anak diberi waktu jeda? Kadang-kadang dia sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan dan dipaksa untuk berhenti. Namun, bukan selalu demikian masalahnya  bahkan kalaupun demikian, saya pikir masih banyak  cerita dibaliknya ketika anda menjauhi seorang anak, yang sesungguhnya lenyap atau ditarik adalah kehadiran anda, perhatian anda, cinta anda. Anda mungkin tidak berpikir demikian. Bahkan anda boleh bersikeras bahwa cinta anda untuk anak anda tidak akan hilang oleh kelakuan buruknya. Tetapi seperti yang telah kita lihat, yang penting adalah bagaimana hal itu  kelihatan dari kacamata anak.




AKIBAT DARI PENARIKAN CINTA

            Sebuah penelitian penting tentang keefektifan penarikan cinta pada dasarnya mendukung kesimpulan orangtua ini: kadang hal ini sepertinya berhasil, tetapi tidak berarti bahwa kita harus melakukanya. Pada awal 1980-an  dua peneliti di institut Kesehatan mental nasional  (National Institue Of Mental Health/NIMH).  Menyelidiki apa yang dilakukan oleh ibu-ibu dengan anak mereka yang berusia kurang lebih  satu tahun.  Sepertinya penarikan cinta dengan sengaja mengabaikan  anak atau memisahkan diri secara paksa biasanya digabungkan dengan satu strategi lain. Terlepas dari dari pendekatan lain apa yang digunakan, apakah itu menjelaskan atau menampar, adanya penambhan penarikan cinta cenderung membuat anak –anak kecil ini akan menuruti  kemauan ibu-ibu mereka, paling tidak pada waktu itu.
            Namun para peneliti prihatin dengan apa yang mereka temukan, dan mereka menekankan bahwa mereka tidak menganjurkan  agar orangtua menggunakan teknik penarikan cinta.
pertama  mereka menunjukkan bahwa “teknik pendisplinan yang efektif untuk memperoleh ketaatan  segera tidak akan efektif dalam jangka panjang”.
 Kedua mereka mengamati bahwa “anak-anak mungkin bereaksi terhadap penarikan cinta  dengan cara-cara yang dianggap orang tua sebagai kesempatan untuk pendisplinan lebih jauh”.


KETIDAKMANJURAN GANJARAN

            Sedikit latar belakang mungkin diperlukan disini. Dalam budaya kita ditempat kerja, sekolah dan keluarga, terdapat dua strategi dasar yang digunakan orang-orang yang mempunyai kekuasaan lebih besar ketika mencoba menyuruh orang-orang dengan kekuasaan lebih kecil agar mematuhi mereka. Salah satu cara adalah dengan menghukum ketidaktaatan. Cara lainya adalah dengan memberikan ganjaran  atas ketaatan. Ganjaran tersebut dapt berupa gaji atau hak istimewa, bintang emas atau permen, stiker atau kunci Phi Beta Kappa. Tetapi bisa juga berbentuk pujian. Jadi untuk memahi arti mengucapkan “bagus” kepada anak , anda harus memahami keseluruhan filosofi wortel dan tongkat yang terkait denganya.
            Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa ganjaran tidak sangat efektif untuk meningkatkan  kualitas kerja atau pembelajaran orang. Sejumlah besar penelitian menemukan bahwa anak-anak mau pun orang dewasa kurang berhasil dalam berbagai tugas jika mereka ditawari ganjaran untuk melakukanya atau ketika melakukanya dengan baik. Bahkan peneliti pertama yang menemukan hasil ini pun terkejut. Mereka menduka insentif untuk prestasi yang tinggi akan memotivasi orang melakukan sesuatu dengan lebih baik, tetapi terus menemukan justru kebalikanyalah yang benar.
Satu pesan moral dari semua ini adalah  seberapa besar anak “termotivasi” untuk melakukan sesuatu (menggunakan toilet, latihan piano, berangkat kesekolah, apa saja) tidaklah terlalu penting. Pertanyan yang justru perlu anda ajukan adalah bagaimana anak anda termotivasi. Dengan kata lain bukan jumlah motivasi yang penting. Melainkan jenisnya. 

PENGUATAN YANG TIDAK BEGITU POSITIF

            Sekarang saat untuk yang sangat buruk: apa yang berlaku pada pemberian hadiah yang nyata (uang atau makanan) maupun simbolis (nilai atau bintang emas) juga dapat berlaku pada penghargaan lisan. Dalam banyak kasus, pengaruh dari memuji anak bisa sama buruknya dengan pengaruh memberi mereka permen.
            Pertama, pernyataan “bagus” dapat mengganggu seberapa baik suatu pekerjaan sebenarnya dikerjakan. Para peneliti terus menemukan bahwa individu yang dipuji karena melakukan tugas kreatif dengan baik sering tersandung pada tugas berikutnya.
Penguatan positif juga cenderung tidak membuahkan hasil yang lebih baik untuk hal-hal selain pencapaian prestasi. Seperti ganjaran dan hukuman lainnya, paling-paling yang dapat dilakukanya adalah mengubah perilaku anak untuk sementara waktu. Sebagai contoh anak-anak yang dipuiji karena meminum minuman yang aneh itu pada akhirnya kurang menyukainya – persis seperti anak-anak yang menerima hadiah yang nyata karena meminumnya.
            Yang lebih mengkwatirkan adalah hasil penelitian tentang anak-anak kecil yang sering dipuji oleh orangtuanya karena menunjukkan kedermawan cenderung mernjadi kurang dermawan  setiap harinya  dibandingkan dengan anak lain- lain lagi persis seperti anak yang mendapatkan hadiah yang nyata. Setiap kali mereka mendengar “bagus kamu mau berbagi!” atau “aku bangga kamu mau membantu”, mereka menjadi tidak terlalu tertarik lagi untuk berbagi atau membantu. Tindakan seperti itu tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bernilai demi tindakan itu sendiri, tetapi sebagai sesuatu  yang harus dilakukan anak-anak untuk mendapatkan reaksi itu lagi dari orang dewasa.
            Sampai sejauh ini argumen utama saya bahwa pujian cenderung kontraproduktif karena merupakan motivator dari luar. Tetapi, sekarang saya ingin memandang ide ini dari sudut yang baru. Masalahnya bukan hanya ini adalah sebuah penghargaan. Masalahnya adalah penguatan positif merupakan sebentuk pengasuhan bersyarat.  
Ada perbedaan antara memberikan selamat pada anak-anak karena telah bertindak dengan cara yang membuat hidup anda lebih mudah (misalnya: makanan dengan rapi)  dan memberi mereka selamat karena melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh mengesankan. Ada juga perbedaan antara mengungkapkan kesenangan sebagi respons pada pertanyan yang sangat mendalam.
Semakin kita puji, semakin anak butuh dipuji. Mereka tampak gelisah mereka mendambakan pujian lain kita memberinya dan keinginan mereka semakin meningkat.





KONTROVERSI HARGA DIRI
           
            Penarikan cinta dan penguatan positif dapat menghasilkan sejumlah akibat yang meresahkan dari rasa tidak berdaya sampai titik ingin membantu oang lain, dan (ketika anak-anak akan tumbuh) dari ketakutan di tinggal sampai kebencian kepada orangtua.
Istilah yang lazim untuk ini tetntu saja adalah harga diri  yang merupakan kata kunci selama beberapa decade terakhir. Sejumlah orang dalam bidang psikologi  dan pendidikan  dan khususnya mereka yang berhubungan dengan apa yang disebut gerakan membantu diri sendiri, sepertinya yakin bahwa  harga diri yang tinggi oitu bagus, rendah itu jelek, dan bahwa dengan meningkatkan harga diri seorang kita secara otomatis menghasilkan serangkaian akibat yang menguntungkan: prestasi akademik, pilihan hidup yang konstruktif, dan sebagainya. Sebaliknya, harga diri telah menjadi penangkal petir  bagi kaum konservatif, istilah yang dirujuk  untuk semua yang kekacauan masyarakat dan khususnya sekolah –sekolah.

            Kita menemukan hal yang mengejutkan bahwa harga diri yang tidak tinggi selalu disertai hasil yang lebih baik  dan bahkan jika ya, tidak berarti bahwa harga diri yang tinggi itulah yang menyebabkanya. Tetapi, itu tidak membuat saya menjadi pendukung “anti harga diri” yang mencemooh keseluruhan konsep tersebut. Sebagian dari mereka yang  mengambil pandangan ini disebabkan keyakinan bahwa jika anak-anak bahagia dengan diri mereka sendiri, mereka tidak akan mempunyai motivasi untuk mencapai apapun. Jika perhatian mereka terfokus  pada nilai mereka yang sebenarnya, bukan pada apa yang mereka lakukan, maka mereka mungkin tidak akan banyak berbuat. Orang harus merasa  tidak puas supaya terdorong untuk belajar  atau berbuat. tanpa usaha, tidak ada hasil.  Orang yang tidak memnggantungkan nilai diri mereka pada kinerja cenderung melihat kegagalan hanya  sebagai hambatan sementara, sebuah masalah yang harus diselesaikan. Mereka juga cenderung kurang cemas atau tertekan.

PENGASUHAN BERSYARAT

PENGASUHAN BERSYARAT





Pendapat yang menenteramkan ini didasarkan pada gagasan adanya sesuatu yang disebut cinta orang tua, sesuatu yang bisa anda sediakan bagi anak-anak dalam jumlah besar atau kecil. (lebih banyak tentu saja lebih baik). Namun, bagaimana jika asumsi ini ternyata terlalu picik? Bagaimana jika sebenarnya ada cara lain untuk mencintai anak, dan semuanya tidak mulai setara? Seorang psiokoanalis, alice miller, pernah mengamati bahwa seorang anak mungkin saja dicintai “dengan penuh kasih sayang tetapi bukan dengan cara yang dia butuhkan untuk dicintai” jika alice benar , pertanyaan yang relevan bukan hanya apakah  atau bahkan seberapa besar  kita mencintai anak kita, yang juga menjadi masalah adalah bagaimana kita mencintai mereka.
            Saya ingin membela gagasan pengasuhan tak bersyarat dengan dasar penentuan  nilai maupun prediksi. Penentuan nilai, secara sangat sederhana, berarti anak-anak tidak perlu mendapatkan persetujuan dari kita. Kita harus mencintai mereka, seperti yang dikatakan oleh teman saya Deborah, “tanpa alasan apapun” selanjutnya, yang penting bukan hanya bahwa kita yakin mencintai mereka tanpa syarat, melainkan bahwa mereka merasa dicintai dengan cara seperti itu.
            Sementara itu, prediksi berarti mencintai anak-anak tanpa syarat akan menghasilkan pengaruh positif  itu bukan hanya sesuatu yang benar untuk dilakukan, secara moral, melainkan sesuatu yang cerdas. Anak-anak perlu dicintai sebagaimana mereka apa adanya dan karena siapa mereka. Apabila hal itu terjadi, mereka dapat menerima diri sendiri secara mendasar sebagai orang baik, bahkan ketika mereka membuat kesalahan atau gagal. Dan dengan dipenuhinya kebutuhan dasar ini, mereka akan lebih bebas  untuk menerima (dan membantu) orang lain. Cinta tanpa syarat, singkat kata adalah apa yang diperlukan  anak-anak untuk berkembang.
            Sekalipun demikain, kita orang tua sering kali tergoda untuk memberi syarat pada persetujuan kita. Kita terdorong untuk melakukan itu tidak hanya oleh kjeyakinan yang telah tumbuh di dalam diri kita, tetapi juga oleh cara kita dibesarkan dahulu. Anda bisa mengatakan kita telah terkondisi untuk bersayarat. Akar dari perasaan ini telah merasuk jauh ke dalam ranah kesadaran kita. Kenyataanya, penerimaan tak bersyarat  sepertinya jarang terdengar, sekalipun sebagai sebuah cita-cita: pencarian di internet untuk varian  unconditional (tak bersyarat ) kebanyakan memunculkan  diskusi tentang agama atau hewan peliharaan. Rupanya bagi orang sulit  untuk membayangkan cinta di antara sesama manusia tanpa ikatan persyaratan apapun.
            Bagi seorang anak, sebagian dari ikatan itu ada hubunganya dengan bersikap baik dan sebagian lain berkata dengan prestasi.



DUA CARA MEMBESARKAN ANAK:





ASUMSI-ASUMSI YANG MENDASARI

Pendeknya: kekuatan dari luar seperti apa yang diterima seorang sebagai penghargaan (hukuman) sebelumnya menentukan apa yang kita lakukan dan cara kita bertindak merupakan cerminan menyeluruh dari siapa kita sebenarnya. Bahkan orang  yang tidak pernah membaca buku skinner sepertinya menerima asumsi-asumsi  ini. aPabila orang tua dan guru  membicarakan “perilaku” anak, mereka bersikap seakan-akan tidak ada masalah lain kecuali hal-hal yang dipermukaan. Ini bukanlah masalah tentang siapa anak itu, apa yang mereka pikirkan atau rasakan dan butuhkan. Lupakan motiv dan nilai-nilai. Yang pokonya hanyalah bagaimana mengubah perilaku mereka. Hal ini tentu saja, merupakan undangan untuk bergantung pada teknik  pendisplinan yang bertujuan membuat anka-anak  berbuat atau berhenti berbuat dengan cara tertentu.
            Sebuah contoh yang lebih khusus tentang behaviorisme dalam keseharian: mungkin anda pernah bertemu orang tua yang memaksa anaknya untuk meminta maaf setelah melakukan sesuatu yang menyakitkan atau tercela. (bisakah kamu mengatakan kamu minta maaf?) nah, apa yang sedang terjadi disini  apakaha orangtua menganggap bahwa dengan membuat anak-anak mengatakan kalimat ini akan secara ajaib membuat mereka merasa menyesal, meskipun semua buktinya berlawanan? Atau, yang lebih buruk, apakah mereka bahkan tidak peduli apakha anak itu benar-benar menyesal  karena kejujuran tidak ada hubunganya dan yang terpenting adalah mengutarakan kata-kata yang tepat? Permintaan maaf yang terpaksa sering melatih anak-anak  untuk mengatakan hal-hal yang tidak mereka maksudkan dengan kata lain: berbohong.

            Anak-anak bukanlah hewan peliharaan yang dapat dilatih, bukan pula computer  yang diprogram untuk merespons input yang dapat dipdrekdisikan. Mereka bertindak seperti ini, bukan seperti itu karena banyak alasan berbeda, sebagian diantaranya sulit untuk dipilah.
Interpretasi ini tidak hanya mencerminkan sebuah asumsi tentang apa yang dipelajari anak-anak dalam situasi tertentu, atau bahkan bagaimana mereka belajar. Hal ini juga mencerminkan pandangan yangf sangta buruk tentang nak-anak dan jika diperluas tentang watak manusia. Asumsinya adalah jika diberi sedikit kesempatan, anak-anak akan memanfaatkan kita. Beri mereka satu hasta, mereka akan mengambil satu masa depan. Mereka akan mengambil pelajaran terburuk dari keadaan yang taksa (bukan “aku tetap dicintai,” melainkan “hore”! berbuat nakal itu tidak apa-apa) penerimaan tanpa syarat hanya akan ditafsirkan sebagai persetujuan untuk bertindak dalam cara-cara mementingkan diri sendiri, menuntut, rakus, atau tanpa pertimbangan. Paling tidak kemudian pengasuhan bersyarat di dasarkan pada keyakinan yang sangat sinis bahwa menerima anak-anak apa adanya hanya membuat mereka lebih bebas untuk menjadi buruk, karena memang mereka seperti itulah mereka.   
            Sebaliknya, pendekatan pengasuhan anak tak bersyarat dimulai dengan mengingat bahwa dengan tujuan abigail bukanlah untuk membuat saya sengsara. Dia tidak dengki. Dia menyampaikan kepada saya bahwa ada yang tidak beres dengan satu-satunya cara yang dia ketahui. Itu mungkin saja sesuatu yang baru terjadi atau mungkin mengungkapkan sesuatu yang sudah terjadi beberapa waktu. Pendekatan ini mendukung  tumbuhkabn rasa percaya diri anak, dan menentang asumsi bahwa  mereka akan mengambil pelajaran yang keliru dari kasih sayang, atau bahwa mereka selalu ingin berlaku buruk jika mereka pikir mereka dapat lolos dari itu.
            Ini bukanlah sudut pandang yang romantis atau atau tak realistis, yang menyangkal kenyataan bahwa anak-anak (dan orang dewasa) kadang-kadang melakukan hal-hal buruk. Anak-anak perlu di bimbing dan dibantu benar tapi mereka bukan monster kecil yang harus dijinakkan atau di tundukkan. Mereka mempunyai kemampuan untuk mrmpunyai belas kasihan atau agresif, mendahulukan kepentingan umum atau egois, bekerja sama atau bersaing.
            Ketika anak-anak kita tumbuh, akan banyak kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan tempat sebagai tempat pemain ekonomi, sebagai konsumen dan pekerja, dimana kepentingan pribadilah yang berkuasa dan dan persyaratan setiap pertukaran dapat dihitung dengan teliti. Namun pengasuhan tak bersyarat menekankan bahwa keluarga seharusnya menjadi tempat berlabuh, tempat berlindung, dari transaksi semacam itu. Khususnya cinta dari orang tua tidak perlu dibayar dengan apapun. Cinta dari orantua itu murni hadiah semata. Cinta dari orang tua adalah hak yang patut didapat semua anak.
Jika hal ini bisa anda terima, dan jika asumsi-asumsi lain yang mendasari pengasuhan tak bersyarat juga tidak anda tolak-bahwa kita seharusnya melihat anak secara keseluruhan bukan hanya perilakunya, bahwa kita tidak seharusnya mengasumsikan yang terburuk mengenai kecenderungan anak, dan seterusnya maka kita perlu mempertanyakan semua teknik disiplin umum yang didasarkan pada kebalikan dari asumsi-asumsi ini.praktik yang lazim dalam pengasuhan bersyarat cenderung menjadi cara melakukan sesuatu terhadap anak agar menghasilkan kepatuhan. Sebaliknyasaran-saran yang ditawarkan pada paruh kedau buku ini, yang mengalir secara alami dari ide pengasuhan tak bersyarat, merupakan ragam bentuk kerja sama dengan anak agar membantu mereka tumbuh menjadi orang yang sopan dan pembuat keputusan yang baik.

Jadi, kita dapat menyimpulkan perbedaan antara kedua pendekatan ini sebagai berikut:


Tak bersyarat
bersyarat
fokus
Anak secara keseluruhan (termasuk alasan, pemikiran, perasaan)
perilaku
Pandangan tentang sifat manusia
Positif atau seimbang
negatif
Pandangan tentang cinta orangtua
Sebuah hadiah
Hak istimewa yang perlu direbut
strategi
“bekerja dengan” (pemecahan masalah)
“berbuat untuk” (kontrol melalui hukuman dan ganjaran)
               

DAMPAK DARI PENGASUHAN TAK BERSYARAT

Para pendidik mengingatkan kita bahwa yang terpenting didalam kelas bukanlah hal yang di ajarkan oleh guru tapi apa yang dipelajari oleh pelajar. Dan begitu juga dalam keluarga. Yang terpenting adalah pesan yang ditangkap anak-anak kita, bukan yang kita kirim menurut kita.
            Setiap teknik ini mempunyai kekurangna sendiri-sendiri dan pilihan metodenya dapat memengaruhi hasil penelitian. Ketika orangtua dan anak-anak ditanya secara terpisah untuk menjelaskan apa yang terjadi, misalnya, mereka mungkin memberikan cerita yang sangat berbeda . menariknya bilamana terdapat cara yang lebih objektif untuk menemukan kebenaran, persepsi anak-anak terhadap perilaku orangtua mereka terbukti sama akuratnya dengan laporan orangtua mereka terhadap perilaku mereka sendiri.
            Selama bertahun-tahun para peneliti telah menemukan bahwa “semakin bersyarat dukungan (yang diterima oleh seseorang), semakin rendah persepsinya tentang apa yang berharga pada dirinya sebagai manusia” apabila anak-anak menerima kasih sayang bersyarat, mereka cenderung menerima diri mereka sendiri dengan bersyarat pula. Sebaliknya, mereka yang merasa diterima tanpa syarat oleh orangtua mereka atau menurut penelitian lainya, bahkan oleh guru – cenderung merasa lebih senang dengan diri sendiri, persisi sama seperti yang diramalkan Carl Rogers.

            Dan itu membawa kita pada tujuan akhir dari buku ini, pertanyaan utama yang saya ajak anda untuk memikirkanya. Dalam angket yang digunakan untuk meneliti pengasuhan bersyarat, seorang remaja atau dewasa muda biasanya diminta untuk mengindikasikan “sangat setuju”, “setuju”, “netral”, “sangat tidak setuju” untuk menanggapi kalimat seperti “ibu saya tetap mencintai saya bahkan selama konflik kami yang terburuk” atau “ketika ayah saya tidak sependapat dengan saya, saya tau bahwa dia tetap mencintai saya”. 



TAMBAHAN DAN KONFIRMASI ULANG MENGENAI NUBUATAN YANG KAMI SAMPAIKAN MENGENAI BASUKI TJAHAJA PURNAMA

TAMBAHAN DAN KONFIRMASI ULANG MENGENAI NUBUATAN YANG KAMI SAMPAIKAN MENGENAI BASUKI TJAHAJA PURNAMA Seperti telah diketahui dan dibaca s...