MEMBERI DAN
MENAHAN CINTA
Ketika para ilmuwan mulai meneliti
kedisplinan pada 1950 dan 1960-an mereka cenderung mengklasifikasikan apa yang
dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya hanya berdasarkan kekuasaan atau
cinta. Disiplin berdasarkan kekuasaan termasuk memukul, bertreiak dan
mengancam. Disiplin berdasarkan cinta
termasuk hampir segala hal lainya. Ketika hasilnya didapat jelaslah
bahwa kekuasaan menimbulkan akibat yang lebih buruk daripada cinta.
JEDA DARI CINTA
Sebagian orangtua menarik cinta mereka
hanya dengan menolak memberi respons kepada anak artinya dengan tidak
mengindahkanya. Mereka mungkin tidak mengatakanya dengan jelas, tetapi pesan
yang mereka kirimkan cukup jelas. “jika kamu melakukan hal yang tidak aku
sukai, aku tidak akan memerhatikanmu. Aku bahkan berpura-pura kamu tidak ada
disini, jika kamu ingin aku mengakuimu lagi, lebih baik kamu menuruti aku.”
Tetapi
sebagian orangtua lain memisahkan diri mereka
secara fisik dari anak-anak mereka. Ada dua cara untuk melakukan hal
ini. Orangtua itu mungkin menjauh (yang mungkin dengan meninggalkan anak-anak
yabng tersedu, menangis keras dalam kepanikan, “ibu, kembali! Kembali!”) atau
mengasingkan anaknya ke dalam kamarnya atau ke ruang lainnya tanpa ditemani
orang tua. Taktik seperti ini dapat disebut pengasingan paksa. Tetapi, istilah
seperti itu akan membuat banyak orangtua merasa tidak nyaman, sehingga istilah
yang lebih tidak merugikan cenderung dipakai, istilah yang membuat kita
menghindari menghadapi apa yang sedang terjadi. Eufimisme yang lebih disukai,
seperti yang telah anda duga, adalah waktu jeda(time-out).
Salah satu petunjuk tentang ciri teknik
ini diberikan oleh asal-usul istilah itu sendiri. Waktu jeda sebenarnya adalah
singkat dari waktu jeda dari penguatan positif. Praktik ini dikembangkan hampir
setengah abad yang lalu sebagai cara untuk melatih hewan laboratorium. Pada
saat B.F. skinner dan para pengikutnya bekerja, sebagai contoh, untuk mrngajari
burung merpati mematukkunci-kunci
tertentu dalam merespon kilatan cahaya. Mereka mengubah-ubah jadwal pemberian
makanan sebagai penghargaan karena melakukan apa yang diinginkan oleh para
peneliti. Kadang – kadang mereka juga mencoba menghukum burung –burung tersebut
dengan menahan makanan mereka, atau bahkan dengan mematikan semua lampu, untuk
melihat bagaimana hal itu dapt “mematikan” perlaku mematuk kunci.
Dalam
beberapa tahun, beberapa artikikel mulai terbit dalam jurnal psikologi
eksperimental yang sama dengan judul seperti “timeout Duratian and the
suppression of Deviant Behavior in Children”. Dalam penelitian yang satu ini
anak-anak diberi waktu jeda digambarkan sebagai “sosok yang terbelakang dan
kehilangan kemampuan untuk hidup secara mandiri”. Namun tak lama kemudian
penghukuman semacam ini dianjurkan tanpa membeda-bedakan, bahkan para spesialis
disiplin yang mungkin tercengang dengan ide memperlakukan anak-anak seperti
hewan laboratorium menjadi antusias dalam menasehati orang tua untuk memberikan
waktu jeda kepada anak jika berbuat salah.
Jadi,
kita sedang membicarakan tentang teknik yang pada awalnya merupakan cara
mengontrol perilaku hewan. Ketiga kata tersebut mungkin memunculkan pertanyaan
yang mencemaskan pada kita. Kata yang ditengah, tentu saja kita sudah
mengenalnya: haruskah fokus kita dibatasi pada perilaku? Waktu jeda seperti juga
hukuman dan ganjaran hanya ada dipermukaan itu dimaksudkan benar-benar hanya
untuk membuat suatu organisme berbuat (atau berhenti berbuat) denga cara
tertentu.
Kata
yang terakhir, hewan, mengingatkan kita bahwa para penganuit behaviorisme yang
menciptakan waktu- jeda meyakini bahwa manusai tidaklah berbeda dengan spesies
lainnya. Kita “memancarkan” perilaku
yang lebih rumit, di antaranya kemampuan bercakap-cakap. Sebagian dari kita
yang tidak menyetujui keyakinan itu
mungkin kebenaran menundukkan anak pada sesuatu yang dikembangkan untuk
digunakan oleh burung dan hewan pengerat.
Kalau
pun sejarah dan dasar teorinya tidak mencemaskan anda, tinjau kembali istlah
aslinya :waktu-jeda dari penguatan
positif. Orang tua biasanya tidak
tiba-tiba memutuskan untuk berhenti ketika sedang memberikan stiker atu permen,
jadi, sebenarnya penguatan positif pa
yang ditangguhkan ketika anak diberi waktu jeda? Kadang-kadang dia sedang
melakukan sesuatu yang menyenangkan dan dipaksa untuk berhenti. Namun, bukan
selalu demikian masalahnya bahkan
kalaupun demikian, saya pikir masih banyak
cerita dibaliknya ketika anda menjauhi seorang anak, yang sesungguhnya
lenyap atau ditarik adalah kehadiran anda, perhatian anda, cinta anda. Anda
mungkin tidak berpikir demikian. Bahkan anda boleh bersikeras bahwa cinta anda
untuk anak anda tidak akan hilang oleh kelakuan buruknya. Tetapi seperti yang
telah kita lihat, yang penting adalah bagaimana hal itu kelihatan dari kacamata anak.
AKIBAT DARI PENARIKAN CINTA
Sebuah penelitian penting tentang keefektifan
penarikan cinta pada dasarnya mendukung kesimpulan orangtua ini: kadang hal ini
sepertinya berhasil, tetapi tidak berarti bahwa kita harus melakukanya. Pada
awal 1980-an dua peneliti di institut
Kesehatan mental nasional (National
Institue Of Mental Health/NIMH).
Menyelidiki apa yang dilakukan oleh ibu-ibu dengan anak mereka yang
berusia kurang lebih satu tahun. Sepertinya penarikan cinta dengan sengaja
mengabaikan anak atau memisahkan diri
secara paksa biasanya digabungkan dengan satu strategi lain. Terlepas dari dari
pendekatan lain apa yang digunakan, apakah itu menjelaskan atau menampar,
adanya penambhan penarikan cinta cenderung membuat anak –anak kecil ini akan
menuruti kemauan ibu-ibu mereka, paling
tidak pada waktu itu.
Namun
para peneliti prihatin dengan apa yang mereka temukan, dan mereka menekankan
bahwa mereka tidak menganjurkan agar
orangtua menggunakan teknik penarikan cinta.
pertama mereka
menunjukkan bahwa “teknik pendisplinan yang efektif untuk memperoleh
ketaatan segera tidak akan efektif dalam
jangka panjang”.
Kedua
mereka mengamati bahwa “anak-anak mungkin bereaksi terhadap penarikan
cinta dengan cara-cara yang dianggap
orang tua sebagai kesempatan untuk pendisplinan lebih jauh”.
KETIDAKMANJURAN
GANJARAN
Sedikit
latar belakang mungkin diperlukan disini. Dalam budaya kita ditempat kerja,
sekolah dan keluarga, terdapat dua strategi dasar yang digunakan orang-orang
yang mempunyai kekuasaan lebih besar ketika mencoba menyuruh orang-orang dengan
kekuasaan lebih kecil agar mematuhi mereka. Salah satu cara adalah dengan
menghukum ketidaktaatan. Cara lainya adalah dengan memberikan ganjaran atas ketaatan. Ganjaran tersebut dapt berupa
gaji atau hak istimewa, bintang emas atau permen, stiker atau kunci Phi Beta
Kappa. Tetapi bisa juga berbentuk pujian. Jadi untuk memahi arti mengucapkan
“bagus” kepada anak , anda harus memahami keseluruhan filosofi wortel dan
tongkat yang terkait denganya.
Hal
pertama yang harus dipahami adalah bahwa ganjaran tidak sangat efektif untuk
meningkatkan kualitas kerja atau
pembelajaran orang. Sejumlah besar penelitian menemukan bahwa anak-anak mau pun
orang dewasa kurang berhasil dalam berbagai tugas jika mereka ditawari ganjaran
untuk melakukanya atau ketika melakukanya dengan baik. Bahkan peneliti pertama
yang menemukan hasil ini pun terkejut. Mereka menduka insentif untuk prestasi
yang tinggi akan memotivasi orang melakukan sesuatu dengan lebih baik, tetapi terus
menemukan justru kebalikanyalah yang benar.
Satu pesan moral dari semua ini
adalah seberapa besar anak “termotivasi”
untuk melakukan sesuatu (menggunakan toilet, latihan piano, berangkat
kesekolah, apa saja) tidaklah terlalu penting. Pertanyan yang justru perlu anda
ajukan adalah bagaimana anak anda termotivasi. Dengan kata lain bukan jumlah
motivasi yang penting. Melainkan jenisnya.
PENGUATAN YANG TIDAK BEGITU POSITIF
Sekarang saat untuk yang sangat buruk: apa yang
berlaku pada pemberian hadiah yang nyata (uang atau makanan) maupun simbolis
(nilai atau bintang emas) juga dapat berlaku pada penghargaan lisan. Dalam
banyak kasus, pengaruh dari memuji anak bisa sama buruknya dengan pengaruh
memberi mereka permen.
Pertama,
pernyataan “bagus” dapat mengganggu seberapa baik suatu pekerjaan sebenarnya
dikerjakan. Para peneliti terus menemukan bahwa individu yang dipuji karena
melakukan tugas kreatif dengan baik sering tersandung pada tugas berikutnya.
Penguatan positif juga cenderung tidak
membuahkan hasil yang lebih baik untuk hal-hal selain pencapaian prestasi.
Seperti ganjaran dan hukuman lainnya, paling-paling yang dapat dilakukanya
adalah mengubah perilaku anak untuk sementara waktu. Sebagai contoh anak-anak
yang dipuiji karena meminum minuman yang aneh itu pada akhirnya kurang
menyukainya – persis seperti anak-anak yang menerima hadiah yang nyata karena
meminumnya.
Yang
lebih mengkwatirkan adalah hasil penelitian tentang anak-anak kecil yang sering
dipuji oleh orangtuanya karena menunjukkan kedermawan cenderung mernjadi kurang
dermawan setiap harinya dibandingkan dengan anak lain- lain lagi
persis seperti anak yang mendapatkan hadiah yang nyata. Setiap kali mereka
mendengar “bagus kamu mau berbagi!” atau “aku bangga kamu mau membantu”, mereka
menjadi tidak terlalu tertarik lagi untuk berbagi atau membantu. Tindakan
seperti itu tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bernilai demi tindakan itu
sendiri, tetapi sebagai sesuatu yang
harus dilakukan anak-anak untuk mendapatkan reaksi itu lagi dari orang dewasa.
Sampai
sejauh ini argumen utama saya bahwa pujian cenderung kontraproduktif karena
merupakan motivator dari luar. Tetapi, sekarang saya ingin memandang ide ini
dari sudut yang baru. Masalahnya bukan hanya ini adalah sebuah penghargaan.
Masalahnya adalah penguatan positif
merupakan sebentuk pengasuhan bersyarat.
Ada
perbedaan antara memberikan selamat pada anak-anak karena telah bertindak
dengan cara yang membuat hidup anda lebih mudah (misalnya: makanan dengan
rapi) dan memberi mereka selamat karena
melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh mengesankan. Ada juga perbedaan antara
mengungkapkan kesenangan sebagi respons pada pertanyan yang sangat mendalam.
Semakin
kita puji, semakin anak butuh dipuji. Mereka tampak gelisah mereka mendambakan
pujian lain kita memberinya dan keinginan mereka semakin meningkat.
KONTROVERSI HARGA DIRI
Penarikan cinta dan penguatan positif dapat
menghasilkan sejumlah akibat yang meresahkan dari rasa tidak berdaya sampai
titik ingin membantu oang lain, dan (ketika anak-anak akan tumbuh) dari
ketakutan di tinggal sampai kebencian kepada orangtua.
Istilah yang lazim untuk ini tetntu saja
adalah harga diri yang merupakan kata
kunci selama beberapa decade terakhir. Sejumlah orang dalam bidang
psikologi dan pendidikan dan khususnya mereka yang berhubungan dengan
apa yang disebut gerakan membantu diri sendiri, sepertinya yakin bahwa harga diri yang tinggi oitu bagus, rendah itu
jelek, dan bahwa dengan meningkatkan harga diri seorang kita secara otomatis
menghasilkan serangkaian akibat yang menguntungkan: prestasi akademik, pilihan
hidup yang konstruktif, dan sebagainya. Sebaliknya, harga diri telah menjadi
penangkal petir bagi kaum konservatif,
istilah yang dirujuk untuk semua yang
kekacauan masyarakat dan khususnya sekolah –sekolah.
Kita
menemukan hal yang mengejutkan bahwa harga diri yang tidak tinggi selalu
disertai hasil yang lebih baik dan
bahkan jika ya, tidak berarti bahwa harga diri yang tinggi itulah yang
menyebabkanya. Tetapi, itu tidak membuat saya menjadi pendukung “anti harga
diri” yang mencemooh keseluruhan konsep tersebut. Sebagian dari mereka
yang mengambil pandangan ini disebabkan
keyakinan bahwa jika anak-anak bahagia dengan diri mereka sendiri, mereka tidak
akan mempunyai motivasi untuk mencapai apapun. Jika perhatian mereka
terfokus pada nilai mereka yang
sebenarnya, bukan pada apa yang mereka lakukan, maka mereka mungkin tidak akan
banyak berbuat. Orang harus merasa tidak puas supaya terdorong untuk belajar atau berbuat. tanpa usaha, tidak ada
hasil. Orang yang tidak
memnggantungkan nilai diri mereka pada kinerja cenderung melihat kegagalan
hanya sebagai hambatan sementara, sebuah
masalah yang harus diselesaikan. Mereka juga cenderung kurang cemas atau tertekan.
No comments:
Post a Comment