Sunday, April 23, 2017

MEMBERI DAN MENAHAN CINTA

MEMBERI DAN MENAHAN CINTA



Ketika para ilmuwan mulai meneliti kedisplinan pada 1950 dan 1960-an mereka cenderung mengklasifikasikan apa yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya hanya berdasarkan kekuasaan atau cinta. Disiplin berdasarkan kekuasaan termasuk memukul, bertreiak dan mengancam. Disiplin berdasarkan cinta  termasuk hampir segala hal lainya. Ketika hasilnya didapat jelaslah bahwa kekuasaan menimbulkan akibat yang lebih buruk daripada cinta.


JEDA DARI CINTA

Sebagian orangtua menarik cinta mereka hanya dengan menolak memberi respons kepada anak artinya dengan tidak mengindahkanya. Mereka mungkin tidak mengatakanya dengan jelas, tetapi pesan yang mereka kirimkan cukup jelas. “jika kamu melakukan hal yang tidak aku sukai, aku tidak akan memerhatikanmu. Aku bahkan berpura-pura kamu tidak ada disini, jika kamu ingin aku mengakuimu lagi, lebih baik kamu menuruti aku.”
            Tetapi sebagian orangtua lain memisahkan diri mereka  secara fisik dari anak-anak mereka. Ada dua cara untuk melakukan hal ini. Orangtua itu mungkin menjauh (yang mungkin dengan meninggalkan anak-anak yabng tersedu, menangis keras dalam kepanikan, “ibu, kembali! Kembali!”) atau mengasingkan anaknya ke dalam kamarnya atau ke ruang lainnya tanpa ditemani orang tua. Taktik seperti ini dapat disebut pengasingan paksa. Tetapi, istilah seperti itu akan membuat banyak orangtua merasa tidak nyaman, sehingga istilah yang lebih tidak merugikan cenderung dipakai, istilah yang membuat kita menghindari menghadapi apa yang sedang terjadi. Eufimisme yang lebih disukai, seperti yang telah anda duga, adalah waktu jeda(time-out).
Salah satu petunjuk tentang ciri teknik ini diberikan oleh asal-usul istilah itu sendiri. Waktu jeda sebenarnya adalah singkat dari waktu jeda dari penguatan positif. Praktik ini dikembangkan hampir setengah abad yang lalu sebagai cara untuk melatih hewan laboratorium. Pada saat B.F. skinner dan para pengikutnya bekerja, sebagai contoh, untuk mrngajari burung merpati  mematukkunci-kunci tertentu dalam merespon kilatan cahaya. Mereka mengubah-ubah jadwal pemberian makanan sebagai penghargaan karena melakukan apa yang diinginkan oleh para peneliti. Kadang – kadang mereka juga mencoba menghukum burung –burung tersebut dengan menahan makanan mereka, atau bahkan dengan mematikan semua lampu, untuk melihat bagaimana hal itu dapt “mematikan” perlaku mematuk kunci.
            Dalam beberapa tahun, beberapa artikikel mulai terbit dalam jurnal psikologi eksperimental yang sama dengan judul seperti “timeout Duratian and the suppression of Deviant Behavior in Children”. Dalam penelitian yang satu ini anak-anak diberi waktu jeda digambarkan sebagai “sosok yang terbelakang dan kehilangan kemampuan untuk hidup secara mandiri”. Namun tak lama kemudian penghukuman semacam ini dianjurkan tanpa membeda-bedakan, bahkan para spesialis disiplin yang mungkin tercengang dengan ide memperlakukan anak-anak seperti hewan laboratorium menjadi antusias dalam menasehati orang tua untuk memberikan waktu jeda kepada anak jika berbuat salah.
            Jadi, kita sedang membicarakan tentang teknik yang pada awalnya merupakan cara mengontrol perilaku hewan. Ketiga kata tersebut mungkin memunculkan pertanyaan yang mencemaskan pada kita. Kata yang ditengah, tentu saja kita sudah mengenalnya: haruskah fokus kita dibatasi pada perilaku? Waktu jeda seperti juga hukuman dan ganjaran hanya ada dipermukaan itu dimaksudkan benar-benar hanya untuk membuat suatu organisme berbuat (atau berhenti berbuat) denga cara tertentu.
            Kata yang terakhir, hewan, mengingatkan kita bahwa para penganuit behaviorisme yang menciptakan waktu- jeda meyakini bahwa manusai tidaklah berbeda dengan spesies lainnya. Kita “memancarkan”  perilaku yang lebih rumit, di antaranya kemampuan bercakap-cakap. Sebagian dari kita yang tidak menyetujui keyakinan itu  mungkin kebenaran menundukkan anak pada sesuatu yang dikembangkan untuk digunakan oleh burung dan hewan pengerat.
            Kalau pun sejarah dan dasar teorinya tidak mencemaskan anda, tinjau kembali istlah aslinya :waktu-jeda dari penguatan positif.  Orang tua biasanya tidak tiba-tiba memutuskan untuk berhenti ketika sedang memberikan stiker atu permen, jadi, sebenarnya penguatan positif  pa yang ditangguhkan ketika anak diberi waktu jeda? Kadang-kadang dia sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan dan dipaksa untuk berhenti. Namun, bukan selalu demikian masalahnya  bahkan kalaupun demikian, saya pikir masih banyak  cerita dibaliknya ketika anda menjauhi seorang anak, yang sesungguhnya lenyap atau ditarik adalah kehadiran anda, perhatian anda, cinta anda. Anda mungkin tidak berpikir demikian. Bahkan anda boleh bersikeras bahwa cinta anda untuk anak anda tidak akan hilang oleh kelakuan buruknya. Tetapi seperti yang telah kita lihat, yang penting adalah bagaimana hal itu  kelihatan dari kacamata anak.




AKIBAT DARI PENARIKAN CINTA

            Sebuah penelitian penting tentang keefektifan penarikan cinta pada dasarnya mendukung kesimpulan orangtua ini: kadang hal ini sepertinya berhasil, tetapi tidak berarti bahwa kita harus melakukanya. Pada awal 1980-an  dua peneliti di institut Kesehatan mental nasional  (National Institue Of Mental Health/NIMH).  Menyelidiki apa yang dilakukan oleh ibu-ibu dengan anak mereka yang berusia kurang lebih  satu tahun.  Sepertinya penarikan cinta dengan sengaja mengabaikan  anak atau memisahkan diri secara paksa biasanya digabungkan dengan satu strategi lain. Terlepas dari dari pendekatan lain apa yang digunakan, apakah itu menjelaskan atau menampar, adanya penambhan penarikan cinta cenderung membuat anak –anak kecil ini akan menuruti  kemauan ibu-ibu mereka, paling tidak pada waktu itu.
            Namun para peneliti prihatin dengan apa yang mereka temukan, dan mereka menekankan bahwa mereka tidak menganjurkan  agar orangtua menggunakan teknik penarikan cinta.
pertama  mereka menunjukkan bahwa “teknik pendisplinan yang efektif untuk memperoleh ketaatan  segera tidak akan efektif dalam jangka panjang”.
 Kedua mereka mengamati bahwa “anak-anak mungkin bereaksi terhadap penarikan cinta  dengan cara-cara yang dianggap orang tua sebagai kesempatan untuk pendisplinan lebih jauh”.


KETIDAKMANJURAN GANJARAN

            Sedikit latar belakang mungkin diperlukan disini. Dalam budaya kita ditempat kerja, sekolah dan keluarga, terdapat dua strategi dasar yang digunakan orang-orang yang mempunyai kekuasaan lebih besar ketika mencoba menyuruh orang-orang dengan kekuasaan lebih kecil agar mematuhi mereka. Salah satu cara adalah dengan menghukum ketidaktaatan. Cara lainya adalah dengan memberikan ganjaran  atas ketaatan. Ganjaran tersebut dapt berupa gaji atau hak istimewa, bintang emas atau permen, stiker atau kunci Phi Beta Kappa. Tetapi bisa juga berbentuk pujian. Jadi untuk memahi arti mengucapkan “bagus” kepada anak , anda harus memahami keseluruhan filosofi wortel dan tongkat yang terkait denganya.
            Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa ganjaran tidak sangat efektif untuk meningkatkan  kualitas kerja atau pembelajaran orang. Sejumlah besar penelitian menemukan bahwa anak-anak mau pun orang dewasa kurang berhasil dalam berbagai tugas jika mereka ditawari ganjaran untuk melakukanya atau ketika melakukanya dengan baik. Bahkan peneliti pertama yang menemukan hasil ini pun terkejut. Mereka menduka insentif untuk prestasi yang tinggi akan memotivasi orang melakukan sesuatu dengan lebih baik, tetapi terus menemukan justru kebalikanyalah yang benar.
Satu pesan moral dari semua ini adalah  seberapa besar anak “termotivasi” untuk melakukan sesuatu (menggunakan toilet, latihan piano, berangkat kesekolah, apa saja) tidaklah terlalu penting. Pertanyan yang justru perlu anda ajukan adalah bagaimana anak anda termotivasi. Dengan kata lain bukan jumlah motivasi yang penting. Melainkan jenisnya. 

PENGUATAN YANG TIDAK BEGITU POSITIF

            Sekarang saat untuk yang sangat buruk: apa yang berlaku pada pemberian hadiah yang nyata (uang atau makanan) maupun simbolis (nilai atau bintang emas) juga dapat berlaku pada penghargaan lisan. Dalam banyak kasus, pengaruh dari memuji anak bisa sama buruknya dengan pengaruh memberi mereka permen.
            Pertama, pernyataan “bagus” dapat mengganggu seberapa baik suatu pekerjaan sebenarnya dikerjakan. Para peneliti terus menemukan bahwa individu yang dipuji karena melakukan tugas kreatif dengan baik sering tersandung pada tugas berikutnya.
Penguatan positif juga cenderung tidak membuahkan hasil yang lebih baik untuk hal-hal selain pencapaian prestasi. Seperti ganjaran dan hukuman lainnya, paling-paling yang dapat dilakukanya adalah mengubah perilaku anak untuk sementara waktu. Sebagai contoh anak-anak yang dipuiji karena meminum minuman yang aneh itu pada akhirnya kurang menyukainya – persis seperti anak-anak yang menerima hadiah yang nyata karena meminumnya.
            Yang lebih mengkwatirkan adalah hasil penelitian tentang anak-anak kecil yang sering dipuji oleh orangtuanya karena menunjukkan kedermawan cenderung mernjadi kurang dermawan  setiap harinya  dibandingkan dengan anak lain- lain lagi persis seperti anak yang mendapatkan hadiah yang nyata. Setiap kali mereka mendengar “bagus kamu mau berbagi!” atau “aku bangga kamu mau membantu”, mereka menjadi tidak terlalu tertarik lagi untuk berbagi atau membantu. Tindakan seperti itu tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bernilai demi tindakan itu sendiri, tetapi sebagai sesuatu  yang harus dilakukan anak-anak untuk mendapatkan reaksi itu lagi dari orang dewasa.
            Sampai sejauh ini argumen utama saya bahwa pujian cenderung kontraproduktif karena merupakan motivator dari luar. Tetapi, sekarang saya ingin memandang ide ini dari sudut yang baru. Masalahnya bukan hanya ini adalah sebuah penghargaan. Masalahnya adalah penguatan positif merupakan sebentuk pengasuhan bersyarat.  
Ada perbedaan antara memberikan selamat pada anak-anak karena telah bertindak dengan cara yang membuat hidup anda lebih mudah (misalnya: makanan dengan rapi)  dan memberi mereka selamat karena melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh mengesankan. Ada juga perbedaan antara mengungkapkan kesenangan sebagi respons pada pertanyan yang sangat mendalam.
Semakin kita puji, semakin anak butuh dipuji. Mereka tampak gelisah mereka mendambakan pujian lain kita memberinya dan keinginan mereka semakin meningkat.





KONTROVERSI HARGA DIRI
           
            Penarikan cinta dan penguatan positif dapat menghasilkan sejumlah akibat yang meresahkan dari rasa tidak berdaya sampai titik ingin membantu oang lain, dan (ketika anak-anak akan tumbuh) dari ketakutan di tinggal sampai kebencian kepada orangtua.
Istilah yang lazim untuk ini tetntu saja adalah harga diri  yang merupakan kata kunci selama beberapa decade terakhir. Sejumlah orang dalam bidang psikologi  dan pendidikan  dan khususnya mereka yang berhubungan dengan apa yang disebut gerakan membantu diri sendiri, sepertinya yakin bahwa  harga diri yang tinggi oitu bagus, rendah itu jelek, dan bahwa dengan meningkatkan harga diri seorang kita secara otomatis menghasilkan serangkaian akibat yang menguntungkan: prestasi akademik, pilihan hidup yang konstruktif, dan sebagainya. Sebaliknya, harga diri telah menjadi penangkal petir  bagi kaum konservatif, istilah yang dirujuk  untuk semua yang kekacauan masyarakat dan khususnya sekolah –sekolah.

            Kita menemukan hal yang mengejutkan bahwa harga diri yang tidak tinggi selalu disertai hasil yang lebih baik  dan bahkan jika ya, tidak berarti bahwa harga diri yang tinggi itulah yang menyebabkanya. Tetapi, itu tidak membuat saya menjadi pendukung “anti harga diri” yang mencemooh keseluruhan konsep tersebut. Sebagian dari mereka yang  mengambil pandangan ini disebabkan keyakinan bahwa jika anak-anak bahagia dengan diri mereka sendiri, mereka tidak akan mempunyai motivasi untuk mencapai apapun. Jika perhatian mereka terfokus  pada nilai mereka yang sebenarnya, bukan pada apa yang mereka lakukan, maka mereka mungkin tidak akan banyak berbuat. Orang harus merasa  tidak puas supaya terdorong untuk belajar  atau berbuat. tanpa usaha, tidak ada hasil.  Orang yang tidak memnggantungkan nilai diri mereka pada kinerja cenderung melihat kegagalan hanya  sebagai hambatan sementara, sebuah masalah yang harus diselesaikan. Mereka juga cenderung kurang cemas atau tertekan.

No comments:

Post a Comment

TAMBAHAN DAN KONFIRMASI ULANG MENGENAI NUBUATAN YANG KAMI SAMPAIKAN MENGENAI BASUKI TJAHAJA PURNAMA

TAMBAHAN DAN KONFIRMASI ULANG MENGENAI NUBUATAN YANG KAMI SAMPAIKAN MENGENAI BASUKI TJAHAJA PURNAMA Seperti telah diketahui dan dibaca s...